“Panakiak pisau sirauik ambiak galah batang lintabuang, salodang ambiak ka niru, Nan satitiak jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru.”
Inilah redaksi lengkap
dari Falsafah Alam Takambang Jadi Guru, yang artinya, air yang setitik rela (ihklas) diterima laksana sebanyak
air lautan, tanah yang sekepal (segenggaman tangan) rela diterima laksana
sebesar gunung dan alam semesta raya ini dijadikan guru (tempat belajar dan
atau pemberi pelajaran).
Falsafah Alam Takambang
Jadi Guru adalah, “ filsafat hukum alam” dan atau, “ filsafat hukum kodrat”,
yang merupakan pandangan hidup (way of life) orang Minangkabau,
salah satu suku
bangsa rumpun Melayu Nusantara, atau
yang disebut dengan suku bangsa Melayu Minangkabau, yang
telah bermukim di wilayah
Sumatra Barat dan sekitarnya atau dikenal
dengan sebutan,” Ranah Minang”, sejak kira-kira
2500-2000 tahun lalu (antara abat ke 5 -1 SM.). Falsafah tersebut disamping sebagai pandangan hidup, juga
merupakan, “ norma dasar” atau sumber dari segala sumber hukum (Grundnorm) terbentuknya Hukum Adat Minangkabau. Dapat
dikatakan kedudukan falsafah tersebut
dalam hukum adat Minangkabau tak obahnya seperti falsafah Pancasila di Negara
Indonesia.
Falsafah
atau filsafat
sering dipahami sebagai pandangan mendalam tentang pertanyaan dalam kehidupan manusia. Dalam pemahaman yang
demikian, filsafat ditangkap sebagai sesuatu yang abstrak. Lahirnya filsafat dilatar belakangi oleh rasa keingin-tahuan manusia atas pertanyaan-pertanyaan
yang tidak terjawaban.
Akal manusia tidak puas dengan keterangan dongeng atau mite-mite dan mulai
mencari-cari dengan akalnya dari mana asal alam semesta yang menakjubkan itu, pertanyaan mana terjawab secara
berangsur-angsur, dalam kurun
waktu berabad-abad. Para pemikir filsafat yang pertama hidup
di miletos
kira-kira pada abad ke 6 SM. Mereka
adalah filsuf alam,
artinya para ahli fikir yang menjadikan alam semesta dan penuh keselarasan
menjadi sasaran (objek
) pemikirannya, yang dipelopori oleh tokoh
pertamanya adalah Thales (+ 625 -545 SM).
Filsuf
kenamaan Plato (427 -
347 SM) mendefinisikan filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles
(382 - 322 SM)
mengartikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran
metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.[1]
Apa yang dilakukan oleh tokoh pertama filsafat
tersebut,
ternyata dilakukan pula oleh nenek moyang orang Minang pada kurun waktu yang tak jauh berbeda, yakni kira-kira 2500-2000 tahun yang lalu atau abat ke 5 SM,
buah pemikiran mana berwujud, Falsafah Alam Takambang
Jadi Guru. Lahirnya falsafah
alam takambang jadi guru, erat kaitannya dengan karakteristik atau watak dasar
Orang Minang, yang selalu belajar dari fenomena-fenomena
yang terjadi di alam semesta. Bagi mereka, alam tidak sekedar tempat bernaung,
hidup, berkembang, mencari penghidupan dan berkubur, melainkan juga tempat belajar
mencari kebahagiaan hakiki. Bahwa manusia
harus selalu belajar dari alam dan bersyukur atas apapun yang diperoleh, banyak
sedikitnya, seperti
yang diisyaratkan oleh falsafah tersebut.
Filsafat
membangun banyak dasar-dasar keilmuan atau
pengetahuan yang dipelajari manusia. Immanuel Kant mengartikan filsafat sebagai
dasar segala pengetahuan diantara
berbagai pengetahuan yang dipelajari manusia, salah satunya adalah pengetahuan
hukum . Sebuah adagium
mengatakan; Ibi ius ibi societas, artinya, dimana ada masyarakat
disitu ada hukum. Akan
tetapi perkembangan filsafat sampai mengarah keakar fisafat hukum baru terjadi pada era abad ke
14-15 M, dimana filsafat hukum
menjadi landasan ilmu-lmu lainnya, seperti Ilmu Politik, Ekonomi,Budaya dan
lainnya.
Filsafat hukum,
adalah cabang ilmu
filsafat yaitu ilmu yang mempelajari
hukum secara filosofi, yang dikaji secara luas, mendalam sampai kepada inti
atau dasarnya yang disebut dengan hakikat,
yang mendasari teori-teori dan penemuan norma-norma dalam
hukum untuk menjawab berbagai pertanyaan
masalah-masalah umum dan abstrak
mengenai hakekat hukum, tujuannya, mengapa hukum itu ada, dan mengapa orang harus tunduk kepada
hukum. Dan tujuan mempelajari ilmu
filsafat hukum adalah
untuk memperluas
cakrawala pandang sehingga dapat memahami dan mengkaji dengan kritis atas hukum dan diharapkan akan menumbuhkan sifat kritis
sehingga mampu menilai dan menerapkan kaidah-kaidah hukum.
Disamping itu filsafat
hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral
(etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum. Menurut Gustaff Radbruch,
filsafat hukum adalah
cabang filsafat yang mempelajari hukum yang
benar, sedangkan menurut Langmeyer: Filsafat
Hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum.
Dalam perkembangannya terdapat berbagai aliran
filsafat hukum, diantaranya aliran filsafat hukum alam yang dipelopori diantaranya
oleh Plato, Aristoteles, Thomas Aquino, dan Immanuel Kant.[2]
Filsafat
Hukum
Alam, adalah pandangan yang berpendapat
bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut
Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan manusia dalam mencari keadilan
yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku secara
universal dan abadi. Gagasan
mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat
mahkluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut menjadi dasar bagi
tertib sosial serta tertib hukum. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum
yang sengaja dibentuk oleh manusia. Aliran hukum alam ini dibagi menjadi 2
(dua), yaitu;
- Aliran Hukum Alam Irrasional; Aliran ini berpendapat bahwa, hukum yang berlaku universal dan abadi bersumber dari Tuhan secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain: Thomas Aquinas (Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wyclife. Dan;
- Aliran Hukum Alam Rasional; Aliran ini mengatakan bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi adalah rasio manusia. Tokoh-tokohnya, antara lain: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel Pufendorf. Immanuel Kant adalah diantara tokoh paling berpengaruh dalam aliran ini.
Selain itu, seorang filsuf terkenal lainnya bernama Huijbers,
membedakan penggunaan istilah hukum alam dengan hukum kodrat. Menurutnya
istilah yang benar untuk menyatakan hukum yang dimaksud adalah "hukum
kodrat" dan bukan "hukum alam", karena hukum itu merupakan bagian aturan alam semesta
(natura) yang sebenarnya merupakan suatu keseluruhan kosmis yang penuh rahasia
yang tidak dapat dijangkau oleh akal budi manusia. Bahwa hukum kodrat lebih kuat
dari pada hukum positif, sebab menyangkut makna kehidupan manusia sendiri,
hukum itu mendahului hukum yang dirumuskan dalam undang-undang dan berfungsi
sebagai azas bagi hukum yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut.
Apa bila
dihubungkan dengan teori-teori diatas, Falsafah
Alam Takambang Jadi Guru tergolong
aliran filsafat hukum alam Rasional, karena pada waktu itu, nenek moyang orang
Minang belum menyadari akan keberadaan Allah sang pencipta. Namun di sisi lain
filsafat hukum alam dalam arti hukum kodrat yang dikemukakan oleh filsuf Huijbers lebih mendekati kepada falsafah
alam takambang jadi guru. Bahwa pengetahuan yang dipetik dari berguru kepada
alam semesta, telah memberikan keyakinan kepada Nenek moyang orang Minang,
bahwa semua rahasia penciptaan alam semesta tersimpan dalam sifat-sifat
makhluk dan benda di jagat raya ini, dimana berlaku hukum alam, seperti;
“api panas dan membakar, air membasahi dan
menyuburkan, kayu berpokok, berdahan dan berbuah, lautan berombak, gunung berkabut, ayam berkokok, kambing
mengembek, harimau mengaum dan sebagainya.”
Bahwa hukum alam
itu, misalnya; Api membakar, air membasahi dan seterusnya. merupakan kodrat yang berlaku universal, yang
secara logika dan kasat mata kebenarannya tidak terbantahkan.
Berdasarkan
pandangan hidup yang demikian itu, nenek moyang orang Minang telah menyusun dan
membentuk Hukum Adat Minangkabau, yaitu norma-norma hukum atau
aturan-aturan hukum tidak tertulis, yang mengatur kehidupan orang Minang, dari
hal yang sekecil-kecilnya sampai ke yang lebih luas; politik, ekonomi, hukum, sosial dan
sebagainya. Artinya, Nenek moyang orang Minang telah menjadikan pandangan
hidup mereka tersebut sebagai norma dasar
(grundnorm ), yang mendasari
norma-norma atau aturan-aturan hukum adat Minangkabau,
yang dituangkan dalam bentuk pepatah-petitih, pituah, gurindam dan pantun adat
dengan memakai perumpamaan-perumpamaan atas fenomena-fenomena atau
kejadian-kejadian pada benda-benda alam, seperti bunyi pepatah; “main aie basah, main api tabaka”. Main
air basah, main api terbakar, artinya setiap perbuatan pasti ada resikonya.
Norma Dasar (Grundnorm), adalah norma tertinggi
dalam satu sistem norma, yang merupakan puncak tempat bergantung bagi norma-norma
yang berada di bawahnya, ia tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi
lagi, tetapi ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat. Hans Kelsen, dalam
teorinya, “ stufentheory” (teori Hirarki
norma Hukum) menyatakan, bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hirearki, di mana suatu norma yang lebih rendah
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan
bersifat hipothesis dan fiktif, yakni norma dasar (Grundnorm atau staatsfundamentalnorm). Kemudian Hans Nawinsky mengembangkan teori Kelsen
tersebut menjadi teori Kelsen-Nawiansky, bahwa grundnorm atau staatsfundamentalnorm
adalah sesuatu yang abstrak, diasumsikan (presupposed), tidak tertulis, ia
tidak ditetapkan (gesetz), tetapi diasumsikan, tidak termasuk tatanan hukum
positif, berada di luar, namun menjadi dasar keberlakuan tertinggi bagi tatanan
hukum positif, sifatnya meta-juristic.[1]
Di Indonesia Pancasila disepakati
sebagai sumber
dari segala sumber hukum (grundnorm atau staatsfundamentalnorm),
yang dijabarkan
dalam UUD 1945, tidak sekedar sebagai proses sejarah kehidupan bangsa
dan negara, tetapi lebih dari itu, ia lahir sebagai falsafah bangsa, digali dari kaedah-kaedah, norma-norma
masyarakat Indonesia yang beragam dan majemuk, terdiri dari berbagai ragam budaya, adat dan agama, sehingga dapat berlaku
universal. Konsekwensi yuridisnya adalah segala
bentuk aktivitas pembentukan dan perumusan hukum positif Nasional Indonesia harus berdasarkan
nilai-nilai yang termuat dalam Pancasila.
Bahwa
kebenaran hukum alam tersebut, telah membentuk hukum adat Minangkabau seperti
yang digambarkan dalam pepatah adat;
“Adat nan tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan, sakali aie gadang, sakali
tapian baranjak, namun baranjak di sinan juo.”
Adat yang tidak
lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan, sekali sungai meluap sekali
tepian beralih, namun tetap ditepi juga, artinya, hukum adat tersebut sangat
kokoh dan kuat, tidak mudah terpengaruh oleh budaya lain, namun fleksibel terhadap perkembangan zaman. Itulah sebabnya selama berabad-abad, silih
berganti kebudayaan asing masuk ke bumi Minangkabau, seperti; kepercayaan
animisme, Hindu, Budha dan Kristen tidak
banyak berpengaruh, orang Minang tetap teguh memegang adatnya.
Tidak demikian
halnya ketika Islam masuk ke Minangkabau, dibawa oleh para pedagang Arab. Orang
Minang menyambut dengan tangan terbuka, karena ternyata syariat Islam mempunyai
relevansi kuat dengan pandangan hidup dan hukum adatnya. Setelah mempelajari Syariat Islam secara mendalam, timbulah
pemahaman mereka, bahwa kemampuan daya fikir manusia terbatas pada suatu titik
yang tidak dapat ditembus logika dan kasat mata, yakni tentang keberadaan
Allah, Pencipta alam semesta, yang hanya dapat diyakini melalui Wahyu Illahi. Dalam
hal ini kebenaran yang terkandung dalam Falsafah Alam Takambang Jadi Guru, bahwa, “Nan bana tagak dengan sendirinyo”, telah bertemu dengan kebenaran Syariat Islam
dan disempurnakannya, sehingga tidak ada aral apapun yang merintangi orang
Minang memeluk Islam dengan suka rela dan suka cita, tanpa ada paksaan
dari para pedagang Arab tersebut.
Sejak itu, hukum adat dan atau keputusan-keputusan yang
diambil oleh para pemimpin masyarakat ( para penghulu dan cadiak pandai), tidak
lagi berdasarkan musyawarah dan mufakat semata, melainkan juga berdasarkan
ketentuan Allah dan Sunnah Rasullullah, sebagaimana digambarkan dalam pepatah
adat;
“Syarak mangato, Adat mamakai, Syarak
babuhua mati, adat babuhua sintak, Syarak batilanjang, adat basisampian.”
Artinya, Syariat
Islam mengatur urusan ibadah kepada Allah (hablum minallah) dan urusan sesama
manusia (Habllum minannas), adat boleh dijalankan sepanjang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam, Syariat Islam tidak
boleh di rubah dan harus disampaikan secara apa adanya, sedangkan adat boleh di
rubah melalui musyawarah mufakat sepanjang memenuhi kaidah alur dan patut untuk
mendapatkan kebenaran, biasanya disampaikan secara halus dengan bahasa kiasan
atau sindiran, memakai perumpamaan-perumpamaan. Pada saat ini filsafat hukum
alam rasional yang dianut oleh orang
Minang telah bergeser kepada filsafat hukum alam irrasional, dimana hukum yang
berlaku universal dan abadi bersumber dari Tuhan, dan lebih jauh telah mencapai
filsafat ketauhidan Islam.
Sehubungan dengan itu,
seorang Filosof Islam bernama Al-Kindi (dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185
H), mengatakan, bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan
kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu
mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Bahwa pengetahuan
tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang ke-Esaan-Nya,
tentang apa yang baik dan berguna, tidak ada yang lebih berharga bagi para
pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri.
Selanjutnya,
menurut Imam Al-Ghazali, bahwa dunia itu berasal dari iradat
(kehendak) Tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan
itulah yang diartikan penciptaan. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena
kekuasaan dan kehendak Allah semata, tidak tunduk pada hukum pasti sebab dan akibat (hukum
kausalitas). Bahwa asal Allah berkehendak, api bisa saja tidak membakar, air
bisa saja tidak membasahi, seperti misalnya,
tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Inilah
filsafat ketauhidan Islam yang menggugurkan hukum sebab akibat-rasional filsuf
barat umumnya. Pemahaman yang seperti
inilah yang diajarkan Syariat Islam, sehingga membuka tabir pembatas logika orang
Minang dengan alam bawah sadarnya, yang menjadi salah satu sebab dan atau
pendorong kuat orang Minang dengan mudah memeluk agama Islam.
Meskipun demikian,
pada awalnya, dikalangan masyarakat, masih terdapat perbedaan persepsi tentang Hukum Adat
Minangkabau dengan Syariat Islam, khususnya dalam masalah hukum kekerabatan dan
hukum waris, yang memerlukan penyesuaian mendasar dalam kaidah hukum serta
kelembagaan sosial, yang tidak jarang menimbulkan konflik di tengah masyarakat,
terutama antara Kaum ulama yang menginginkan pemurnian Syariat Islam dengan
Kaum Adat yang mempertahankan
kebiasaan lama yang tidak sesuai dengan
Syariat Islam, seperti; hukum waris harta pusako tinggi, sabung ayam, judi dan sebagainya, ditambah
pula ikut campurnya Kolinial Belanda dengan politik adu-dombanya semakin memperkeruh dan memperuncing keadaan, yang berujung terjadi perang saudara
antara Kaum Ulama dengan Kaum Adat yang
dikenal dengan Perang Padri (1803-1837). Namun dibalik heroiknya Perang Padri
yang sangat menyengsarakan masyarakat, Allah memberi rahmat yang tidak
terhingga kepada Orang Minang, karena setelah perang saudara berkepanjangan,
kedua belah pihak menyadari kelicikan Belanda, mereka kembali bersatu melawan
Belanda. Dan tidak hanya itu, merekapun berhasil membuat kesepakatan, menyatukan
Hukum Adat dengan Syariat Islam, sebagai
norma dasar hukum adat yang baru, yang dituangkan dalam Piagam Bukik
Marapalam, yakni falsafah;
“Adat basandi Syarak, Syarak basandi
Kitabullah”
Artinya, hukum
adat bersendikan Syariat Islam, Syariat
Islam bersendikan Al-Qur’an dan Sunnah Rasullulah, Syariat Islam yang memberi
fatwa, adat yang melaksanakan, adat yang tidak sesuai dengan Syariat Islam
dibuang. Dengan demikian Falsafah Alam Takambang Jadi Guru yang
semula merupakan filsafat hukum alam rasional, kemudian telah pula bergeser ke
filsafat hukum alam irrasional yang telah menyadari dan mengakui adanya Allah
sang Pencipta, namun masih memisahkan antara aturan adat dengan agama, kemudian
secara perlahan menyatu dan atau melebur ke dalam filsafat ketauhidan (filsafat hukum Islam) secara penuh, sehingga
secara berangsur-angsur pula hukum adat Minangkabau terintegrasi oleh
Syariat Islam, dan seiring berjalannya waktu integrasi tersebut makin sempurna, puncaknya adalah apa yang tertuang dalam Piagam
Bukik Marapalam tersebut. Itulah tonggak Reformasi Hukum Adat Minangkabau yang paling
menentukan dalam sejarah kebudayaan Minangkabau secara keseluruhan, sebagai Rahmat
Allah yang tidak terhingga terhadap orang Minang, hikmah yang terkandung
dibalik kesengsaraan selama perang
Padri, yang patut disyukuri oleh Orang
Minang, karena apa yang tertuang di dalam Piagam Bukik Marapalam tersebut telah menyempurnakan hukum adat Minangkabau
dengan Syariat Islam, sehingga melandasi dan mewarnai kehidupan masyarakat di
semua aspek kehidupan sebagai insan yang berilmu, berbudaya dan beragama,
walaupun perang Padri berujung dengan ditangkapnya Tuanku Imam Bonjol oleh
Belanda.
Piagam
Bukik Marapalam, tak lain dan tak bukan merupakan wujud dari bertemunya dan
atau menyatunya kebenaran hukum alam dengan kebenaran tauhid, dan itupun tidak
terlepas dari Iradah Allah seperti yang disampaikan Imam Ghazali di atas,
sehingga benarlah adanya, orang Minang patut memanjatkan syukur yang tak
terhingga atas rahmat tersebut. Dan bahwa sebenarnyalah tanpa disadari oleh
orang Minang, kebenaran tauhid tersebut sudah ada dalam falsafah alam takambang
jadi guru, seperti antara lain isi pepatah adat; “Nan bana tagak dengan sendirinyo”, yang tidak lain dan tidak bukan
merupakan isi pokok dari keesaan Allah yang termuat dalam Surat Al- Ihklas. Dan
Piagam Bukik Marapalam itu diikuti pula dengan sumpah, yang terkenal
dengan Sumpah Sati Marapalam,
berbunyi;
“ka ateh indak bapucuk, ka bawah indak
baurek, di tangah digiriak kumbang.”
Arti dari sumpah
ini adalah, siapa yang melanggar norma
dasar hukum adat itu, tidak akan selamat dunia akherat.
Hanya Allah lah
yang tahu, apakah sumpah di atas yang menyebabkan orang Minang semakin kokoh
memegang adatnya, mendarah daging dalam diri mereka sebagai integritas atau
jati dirinya sampai sekarang, meskipun dalam realita belum tentu mengamalkan norma-norma adat itu
dengan semestinya, bahkan tak jarang melakukan pelanggaran dan atau perbuatan
yang bertentangan dengan adat, namun integritas sebagai orang Minang tetap
dipertahankan, hal mana terbukti dari orang Minang sangat takut dengan sanksi
adat; dibuang sepanjang adat.
Selanjutnya, disempurnakannya
falsafah alam takambang jadi guru oleh Agama Islam dan atau meleburnya filsafat
hukum alam ke dalam Syariat Islam dan atau menyatunya hukum adat dengan hukum
agama Islam, telah memperkokoh norma-norma atau ketentuan-ketentuan Hukum Adat
Minangkabau dalam mengatur kehidupan masyarakat dalam semua aspek kehidupan,
dari hal yang sekecil-kecilnya sampai ke yang lebih luas; politik, ekonomi, hukum, sosial dan
sebagainya. Sistim pemerintahan yang
memadukan semua unsur masyarakat secara bersama-sama menjalankan pemerintahan,
yang dikenal dengan tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin, (Ninik-mamak,
Alim-ulama dan cadiak pandai) sangat
efektif dalam mempercepat pembangunan. Pandangan hidup beradat dan Islami yang
telah menjadi integritas atau jati diri orang Minang, sangat mendorong
berkembangnya generasi dengan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, Islami,
intelek dan berbudaya.Nagari-nagari
ditata secara Islami, yang mana setiap Nagari wajib adanya mesjid, setiap
kampuang wajib adanya surau , telah memberi ruang lahirnya generasi yang
dicitakan. Demikian pula dilapangan
pendidikan, banyak didirikan perguruan atau sekolah-sekolah berbasis Islam,
banyak anak muda dikirim ke tanah suci memperdalam ilmu agama, dan ke Eropah
menuntut ilmu pengetahuan umum. Hukum Adat Minangkabau yang sangat memulyakan perempuan telah pula
menjadikan perempuan Minang mampu berkiprah setara dengan laki-laki, sehingga
wajar ada yang mengatakan kesetaraan gender tidak popular didengung-dengungkan di bumi
Minangkabau. Sejarah mencatat, tak terhitung jumlahnya orang Minang
menjadi putra-putri terbaik bangsa dalam
berbagai profesi, seperti; ulama,
pejuang, sastrawan dan lain sebagainya, antara lain; Tan Malaka, Bung Hatta,
Agus Salim, Syahrir, Yamin, Rohana
Kudus, Rasuna Said dan banyak yang lainnya. Demikian Falsafah Alam Takambang Jadi Guru
sebagai norma dasar (grundnorm atau staatsfundamentalnorm)
pembentuk Hukum Adat Minangkabau secara historis telah mampu mengangkat
kebudayaan Minangkabau pada level kejayaan yang sangat menentukan di bumi
Nusantara ini, terutama sekali sejak masuknya agama Islam ke Ranah Minang, perang mengusir penjajah, baik sebelum maupun
setelah kemerdekaan Indonesia.
Namun realita
dewasa ini kebudayaan Minangkabau mengalami kecendrungan meredup dan atau
memudar karena berbagai sebab, baik karena kurangnya pembelajaran tentang adat
dan budaya dari para tokoh-tokoh adat dan cendikia (cerdik pandai), para Penghulu dan atau ninik mamak tidak lagi
mampu dan atau tidak lagi mau menjalankan kewajibannya sebagaimana yang
ditentukan hukum adat, hubungan kekerabatan mamak kemenakan yang mulai
renggang, sistim pemerintahan yang
kurang memberi ruang untuk eksisnya hukum adat, sistim perundang-undangan serta
regulasi peraturan yang mendorong masyarakat menjadi miskin sehingga tanah
ulayat sudah mulai di jual, pada hal adat melarangnya, maupun kurangnya perhatian pemerintah
terhadap pelestarian budaya, serta sebab-sebab lainnya, sehingga filterisasi
terhadap arus globalisasi dan atau pengaruh asing menjadi menipis. Inilah
tantangan yang tidak dapat dianggap enteng oleh masyarakat Minangkabau, apabila
hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka bukan tidak mungkin akan terjadi hal
sebagaimana digambarkan dalam pepatah adat;
“Jalan dialiah urang nan lalu, Cupak lah
dituka urang panggaleh.”
Artinya, apabila tidak segera diatasi, maka suatu hari
kelak orang Minang bakal tidak bisa jadi tuan di buminya sendiri, bahkan boleh
jadi akan jadi jongos di atas tanah ulayatnya, Ranah Minang akan tinggal nama,
orang Minang bakal terusir dari kampung halamannya, seperti halnya terjadi pada suku bangsa lain di beberapa daerah di Nusantara ini, seperti
misalnya suku bangsa Betawi yang hampir sebahagian besar tanah ulayatnya sudah
dikuasai dan dimiliki oleh orang pendatang atau orang asing, masyarakat Papua
yang hasil buminya dinikmati orang
pendatang atau orang asing, sedangkan penduduk pribumi banyak yang menjadi
miskin dan terpinggirkan.
Hukum Adat,
meskipun tidak tertulis, umumnya berlaku
dan dipatuhi oleh masyarakatnya, karena sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan serta tatanan kebudayaannya dan eratnya ikatan bathin mereka dengan
bumi tempat hidupnya, yang satu sama lain berbeda antara satu daerah dengan
daerah lainnya, misalnya; ikatan secara genealogis marga di Tanah Batak, Klebu di Kerinci,
ikatan secara teritorial di desa Jawa
dan Bali, demikian pula masyarakat Minang, mempunyai ikatan
geneologis-teritorial dengan tanah ulayat mereka. Konsekwensi logis dari itu,
misalnya tentang peraturan pertanahan, mustahil dapat diseragamkan antara hukum
tanah ulayat di Jawa dengan di Sumatra
Barat, yang sudah ada dan berlaku sejak
ribuan tahun yang lalu, jauh sebelum Negara
Indonesia ada.
Friedrich
Carl von Savigny (1770-1861), seorang pemikir utama dalam mashab sejarah hukum, mengatakan, bahwa hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh
dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Konsep ini dipengaruhi oleh
agama (supranatural), seperti halnya yang berlaku di Indonesia dengan
berlakunya hukum adat yang ditentukan oleh keseimbangan “magis-religius
(kosmis)”. Inti dari teori Von Savigny
adalah; “semua hukum pada mulanya dibentuk dan dikembangkan oleh adat kebiasaan
dan kepercayaan yang umum, baru kemudian oleh yurisprudensi. Von Savigny
menekankan bahwa setiap masyararakat mengembangkan hukum kebiasaanya sendiri, karena
mempunyai bahasa, adat istiadat (termasuk kepercayaan) dan konstitusi yang
khas, tumbuh secara alamiah dalam pergaulan masyarakat dan selalu berubah seiring perubahan sosial, karenanya
hukum di satu negara tidak dapat diterapkan/ dipakai oleh negara lain karena
masyarakatnya berbeda-beda begitu juga dengan kebudayaan yang ada di suatu
daerah sudah pasti berbeda pula, karena itu undang-undang tidak dapat berlaku
atau diterapkan secara universal.
Teori
Friedrich Carl von Savigny tersebut di atas,boleh dibilang mewakili kenyataan
yang ada dalam masyarakat hukum adat di Indonesia. Bahwa kebhinekaan suku
bangsa direpublik ini yang sudah ada sebelum lahirnya Republik Indonesia,
sehingga sudah barang tentu tidak dapat diseragamkan dalam satu peraturan yang
baku. Bahwa dalam banyak hal terdapat sistim hukum adat di Negara ini yang
memerlukan peraturan perundang-undangan dan atau regulasi khusus berlaku di
daerah setempat, seperti misalnya hukum mengenai tanah ulayat di Jawa sudah
pasti berbeda dengan adat Minangkabau.
Bahwa ikatan
bathin geneologis-teritorial orang
Minang dengan tanah ulayatnya menimbulkan konsekwensi, berupa prinsip dasar;
“Dijua tak makan bali digadai tak makan
sando, kabau tagak kubangan tingga”
Artinya, tanah
ulayat tidak boleh dijual, hanya boleh
digarap oleh anggota kaum, hasilnya
boleh dibawa, tetapi tanahnya tidak
boleh dimiliki. Bahwa tanah ulayat atau harta pusaka tinggi hanya boleh digadai
dalam hal untuk menjaga harkat dan martabat kaum, yakni apabila terjadi 4 perkara;
- mayik tabujua di ateh rumah, artinya mayat terbujur di atas rumah, ada anggota kaum yang meninggal yang memerlukan biaya cukup banyak menguburkannya, misalnya meninggal di rantau perlu di bawa pulang untuk dikuburkan atau meninggal di rumah sakit;
- rumah gadang katirisan , artinya rumah besar rusak, perlu direnovasi dengan biaya besar, karena rumah gadang oleh orang Minang menyangkut harkat dan martabat kaum, sehingga perlu dijaga kelestariannya;
- gadih gadang alun balaki, artinya anak gadis sudah tua, belum menikah, sehingga perlu biaya besar untuk mencarikan suaminya;
- pambangkik batang tarandam, artinya pembangkit batang terendam, artinya untuk mengangkat marwah atau martabat keluarga/kaum, biasanya orang bisa menggadai sawah ladang untuk menyekolahkan anak/kemenakan ke daerah lain, ke Jakarta misalnya, atau ke luar negeri.
Bertolak dari uraian di atas, mengingat mayoritas
masyarakat Sumatra Barat adalah penduduk asli Minangkabau yang seluruhnya
beragama Islam, di mana adat dan Syariat Islam telah menyatu sebagai integritas
atau jati diri orang Minang secara turun temurun dan secara historis orang
Minang telah berperan besar terhadap kemerdekaan dan kemajuan bangsa Indonesia
dalam berbagai aspek kehidupan bangsa, serta mengingat realita dewasa ini, patut kiranya Hukum Adat Minangkabau sebagai
manifestasi dari norma dasarnya tersebut, dijadikan dasar pembentukan atau perumusan hukum
positif Indonesia, ditingkat Perda Sumatra Barat. Lagi pula secara
konstitusionil di mungkinkan oleh UUD 1945 dan relevan dengan tujuan Otonomi
Daerah.
Bahwa kenyataannya para perumus undang-undang kurang
berminat menjadikan hukum adat sebagai sumber hukum positif Nasional, kalau pun ada, namun implementasinya tidak sejalan dengan hukum
adat. Sebagai contoh mengenai hukum tanah adat yang diatur dalam pasal 5 Undang
Undang Pokok Agraria (UU RI No. 5 Tahun
1960), yang berbunyi;
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”
Selanjutnya tentang Hutan Lindung yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang diperbaiki
dengan UU No. 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan PERPU No. 1 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang, yang berdasarkan Pasal 1 (angka 4, 5, 6 dan 8) dan 4 (3) dapat disimpulkan :“Bahwa dalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan hutan negara
adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (hutan hak), sedangkan hutan adat adalah hutan negara yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat dan bahwa Penguasaan
hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Sedangkan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air
laut, dan memelihara kesuburan tanah. Artinya adalah bahwa Negara dapat menetapkan suatu kawasan hutan sebagai
hutan lindung sepanjang ternyata kawasan hutan tersebut tidak termasuk kawasan
hutan yang telah merupakan hutan hak dan atau hutan adat, yakni hutan yang
berada di wilayah
masyarakat hukum adat.”
Demikian pula Perda Sumbar No. 9 Tahun 2000 Pasal 1 ayat 7, dimana Nagari didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat
dalam Daerah Propinsi Sumatera Barat yang terdiri dari
beberapa himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah yang tertentu batas-batasnya, mempunyai kekayaan sendiri, berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan memilih pimpinan
pemerintahannya, dan;
Perda Sumatra Barat No. 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat Dan
Pemanfaatannya, pasal 2, yang berbunyi:
- Azas utama tanah ulayat bersifat tetap berdasarkan filosofi adat Minangkabau “ jua ndak makan bali, gadai ndak makan sando”
- Azas pemanfaatan tanah ulayat adalah manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat adat, berkeadilan dan bertanggung jawab sesuai dengan falsafah Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah.
- Azas Unilateral yang merupakan hak pewaris tanah ulayat yang berlaku dalam suatu kekerabatan menurut garis keturunan ibu.
Peraturan-peraturan
perundangan-undangan tersebut, sekilas tampak memberi harapan, namun implementasinya
ternyata tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan Hukum Adat itu sendiri,
baik dari segi regulasinya yang tumpang-tindih, maupun dari segi aplikasinya, serta
minusnya good will para penyelenggara Negara. Keadaan itu diperparah pula oleh
buruknya birograsi dan maraknya budaya
korupsi, sehingga sangat merugikan masyarakat.