Saudara- saudara se
Bangsa dan se Tanag Air,
Apakah Poligami itu
Legal ?
Kalau ada pertanyaan
seperti itu, jawabnya adalah: “ Ya, legal apabila dilaksanakan secara legal
pula, artinya hukumnya legal, tidak menyalahi ketentuan yang berlaku dan
pelaksanaannya tidak melawan hukum.!”
Maksudnya adalah, bahwa UU
Perkawinan RI memberi peluang untuk para suami melakukan poligami atau kawin lebih
dari satu, seperti yang orang Padang bilang: Kawin Batambuah, namun dengan
persyaratan yang ditentukan oleh undang undang. !
Apakah itu artinya Hukum Perkawinan
Indonesia berazaskan Poligami ? No,
tidak !
Hukum Perkawinan Indonesia berazaskan
Monogami, hal mana dapat dilihat dari bunyi pasal 1 UU
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawina“ Perkawinan adalah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.”
Selanjutnya ditegaskan lagi pada pasal 3 ayat (1) nya: “Pada azasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami.”
Ya, hukum perkawinan
Indonesia berazas monogami dengan sangat terang benderang dinyatakan dalam
kedua ketentuan tersebut di atas.
Sedangkan ketentuan yang menyatakan
poligami legal, diperbolehkan, dapat kita lihat pada bunyi pasal 3 ayat (2):“ Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang
bersangkutan..”. Namun, persyaratan yang ditentukan undang undang
Perkawinan untuk berpoligami sangatlah ketat. Seketat apa ?
Mari kita simak ketentuan poligami pada
pasal 4 dan pasal 5, sebagai berikut:
Dalam hal seorang suami
akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2)
Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di
daerah tempat tinggalnya. Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a.
isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.
isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c.
isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b.
adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa
suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Persetujuan yang dimaksud pada
huruf a tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.jadi
hakim yang menentukan apakah persetujuan tersebut diperlukan atau tidak.
Selanjutnya UU Perkawinan tersebut diikuti pula oleh peraturan
pelaksannya, yakni Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kusus tentang poligami diatur pada Bab VII,
Pasal 40 sampai dengan pasal 44, yang redaksi lengkapnya sebagai berikut:
BAB VIII BERISTERI LEBIH DARI
SEORANG
Pasal 40:
Apabila seorang suami bermaksud
untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada Pengadilan.
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa
mengenai :
a. Ada
atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah : -
bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; - bahwa
isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; - bahwa
isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. ada
atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis,
apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus
diucapkan didepan sidang pengadilan.
c. ada
atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak, dengan memperlihatkan :
i.
surat keterangan mengenai penghasilan
suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau.
ii.
surat keterangan pajak penghasilan; atau.
iii.
surat keterangan lain yang dapat
diterima oleh Pengadilan;
d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau
janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42
(1) Dalam
melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus
memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan
Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambatlambatnya 30 (tiga puluh)
hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43
Apabila Pengadilan berpendapat
bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka
Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari
seorang.
Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk
melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.
Kemudian, ada lagi ketentuan lain
tentang poligami yang berlaku khusus bagi orang Islam, yaitu Kompilasi Hukum
Islam, Buku I, Bab. IX, mulai dari pasal 55 sampai dengan pasal 59, mari kita
simak:
BAB IX BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55:
(1) Beristeri
lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2) Syarat
utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
ister-isteri dan anak-anaknya.
(3) Apabila
syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang
beristeri dari seorang.
Pasal 56
(1) Suami
yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan
Agama.
(2) Pengajuan
permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3) Perkawinan
yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari
Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan
izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Pasal 58
(1) Selain
syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin
pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal
5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a.
adanya pesetujuan isteri;
b.
adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Dengan
tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis
atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan
ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan
dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri
atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang
perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau
memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu
orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan
57, Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan
mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan
terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Waw., sungguh ketat, ekstra rumit,
bukan ?
Bukan tidak mungkin ini salah satu
sebab mengapa orang diam diam melakukan Perkawinan Siri, yang seperti telah
kita bahas terdahulu sangat merugikan bagi anak yang lahir ddari perkawinan
itu, khususnya tentang hak memperoleh harta warisan orang tuanya.
Lalu bagaimana akibatnya bagi mereka yang
tidak mengindahkan segala syarat yang ditentukan undang undang itu ?
Jelas perkawinannya secara hukum
tidak legal dan batal demi hokum, karena mana pihak yang merasa dirugikan dapat
mengajukan pembatalan ke pengadilan, bahkan dapat melakukan upaya hokum pidana
juga sebagai mana yang diatur dalam bab yang mengatur tentang ketentuan
Pidana pasal 45 dari PP No. 9 Tahun1975
tersebut.
Baiklah, sampai di sini dulu,
bahasan poligami yang legal tapi syaratnya ketat dan rumit, sedang tentang
pembatalan perkawinan poligami dan upaya pidanya akan kita bahas khusus pada
kesempatan berikut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda dapat mengirim blanko konsultasi yang sudah diisi di sini.